BAB I
PENDAHULUAN
Perpustakaan merupakan tempat bagi seseorang untuk dapat memperoleh
berbagai macam pengetahuan dalam bentuk buku, karena buku berfungsi sebagai the
window of the world. Muncul fenomena bahwa perpustakaan sepi pengunjung dari
kalangan menengah ke bawah membuat perpustakaan seperti sebuah gudang ilmu
pengetahuan yang hanya bisa diakses oleh kalangan terdidik saja. Perpustakaan
yang ideal adalah yang mampu berangkat dari kearifan lokal seperti contohnya
budaya nongkrong di angkringan yang menyiratkan budaya kebersamaan, keterbukaan
serta kesetaraan antar pengunjung.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Memberi Arti Perpustakaan Ideal
Perpustakaan adalah tempat seseorang dapat menyantap
berbagai macam hidangan pengetahuan dalam bentuk buku. Buku sebagai the window
of the world memungkinkan pembacanya menyusuri tempat-tempat yang belum pernah
dikunjungi dan bahkan merasakan lezatnya ilmu pengetahuan. Perpustakaan
layaknya sebuah bangunan meyimpan artefak-artefak sejarah masa silam yang bisa
dijadikan bahan pelajaran bagi manusia yang hidup di zaman sekarang. Namun kita
dapat melihat bahwa kenyataan di lapangan menunjukkan sepinya perpustakaan dari
pengunjung. Berbagai fasilitas sudah disediakan oleh perpustakaan guna
mempermudah layanan dan mempernyaman pengunjung. Hot-spot area, AC, sistem
digitalisasi, dan aneka layanan lainnya mencoba untuk memberikan pelayanan
maksimal bagi pengunjung. Namun, tetap saja pengunjung di perpustakaan dari
hari ke hari tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Kalaupun terjadi
peningkatan jumlah pengunjung perpustakaan, tetap saja pengunjung itu masih
berkisar antara mahasiswa, pelajar serta kaum akademisi lainnya, baik itu dosen
maupun peneliti. Jarang kita melihat adanya rakyat kecil seperti tukang becak,
buruh gendong, sopir angkot, tukang parkir atau golongan rakyat kecil lainnya
yang mendekati bangunan yang syarat ilmu pengetahuan tersebut.
Menciptakan
perpustakaan ideal memanglah tidak mudah, karena sejatinya bukan faktor
eksternal atau fasilitas yang menentukan ideal dan ramainya sebuah
perpustakaan, tetapi internal factor atau ruh perpustakaanlah yang membuat
idealnya suatu perpustakaan dapat tercapai. Tidak dinafikkan bila factor
kelengkapan buku, fasilitas AC, digitalisasi, hot spot dan aneka kenyamanan
lainnya juga dibutuhkan dalam sebuah perpustakaan. Namun lebih dari itu,
suasana nyaman, akrab, lumer, egaliter, serta diskusi hangat antar pengunjung
yang terjadi setelah aktifitas membaca buku atau penulis sebut dengan internal
factor lebih dibutuhkan guna membuat perpustakaan layaknya rumah sendiri yang
membuat pengunjung merasa betah dan nyaman.
Perpustakaan ideal di sini adalah perpustakaan yang membuat rasa
nyaman dan betah pengunjungnya menikmati santapan bacaan di ruang yang
memungkinkan terjadinya diskusi yang penuh dengan keterbukaan, kesetaraan dan
keinklusifan yang merakyat, dengan harapan munculnya suatu solusi dari diskusi
yang terjadi. Perasaan nyaman dan betah di perpustakaan ini dipengaruhi oleh
beberapa hal diantaranya suasana akrab, terbuka, penuh kejujuran, egaliter dan
inklusif. Interaksi komunikasi juga dibutuhkan antara pengunjung yang satu
dengan yang lainnya agar tercipta suasana yang nyaman dan terbuka ruang diskusi
yang cukup lebar. Hal ini senada dengan teori tindakan komunikatif
(communicative action) karya Jurgen Habermas dalam ilmu perpustakaan dan
informasi.
Teori Habermas ini tentu saja sangat dipengaruhi pandangan Teori
Kritis atau Sekolah Frankfurt yang menolak positivisme dan anti-kemapanan yang
dibangun oleh ilmu-ilmu positivis. Pada intinya, teori tindakan komunikatif
menyatakan adanya situasi ideal (ideal speech situation) yang memungkinkan
manusia melakukan komunikasi secara terbuka dan setara sebagai basis bagi
terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness) dan interaksi
yang intelektual (intelligibility) . Selain itu, perpustakaan yang baik adalah
perpustakaan yang mampu memberikan ruang bagi terciptanya public sphere yang
sehat. Public Sphere atau ruang publik
merupakan salah satu hak dasar individu maupun masyarakat untuk mengekpresikan
kebutuhan dan kepentingannya menyangkut isu-isu politik, pembangunan, ekonomi,
sosial, budaya dan lain-lain. Pelaksanaan ruang publik merupakan tanda telah
terbentuknya masyarakat madani, di mana setiap masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk bicara, mengemukakan pendapat, serta menolak dominasi. Public
sphere di sini haruslah terbebas dari pengaruh negara, pasar, ownership, maupun
oleh hegemoni yang lainnya. Setiap orang dalam ruang publik mempunyai hak yang
sama untuk bertukar informasi.
B. Konsep Perpustakaan Menurut Ahli
konsep public
sphere pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas pada tahun 1962
berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai
tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor
dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “Public Sphere”, yakni semua
wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik
yang relatif bebas. Public sphere yang merujuk pada Habermas, diartikan juga
sebagai bagian dari kehidupan sosial kita, di mana opini publik atau sesuatu
yang mendekati opini publik bisa terbentuk.
Ruang publik
yang dimaksud Habermas bukanlah prinsip yang abstrak melainkan sebuah konsep
yang praktis. Hal ini terlihat dari fenomena obrolan di coffe house (Inggris)
abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) yang dianggap Habermas
sebagai ruang publik. Disitulah forum yang ideal tempat berbagai gagasan
didiskusikan secara terbuka. Komentar-komentar yang ada dalam berbagai pemberitaan
diperdebatkan. Pada akhirnya, opini yang tercipta mampu mengubah berbagai
bentuk hubungan dan struktur sosial kemasyarakatan baik di kalangan kaum
aristrokrasi maupun lingkungan bisnis pada umumnya kala itu. Ruang publik
seperti ini memungkinkan untuk terbebasnya diri dari pengaruh kekuasaan
manapun.
Di Indonesia
misalnya, kita mengenal komunitas angkringan yang ramai setiap malam di kota
Yogyakarta. Angkringan adalah warung
tenda kecil dan sederhana yang banyak dijumpai di daerah Jogja dan sekitarnya.
Sekarang angkringan pun telah merambah ke kota besar seperti Jakarta dan
sekitarnya. Angkringan merupakan tempat nongkrong rakyat kecil yang menyuguhkan
hidangan spesialnya yaitu sego kucing (nasi kucing) dan aneka makanan serta
minuman khasnya. Penerangan lampu yang remang-remang pun juga menjadi bagian
dari ciri khas angkringan. Angkringan merupakan tempat favorit masyakarakat
utamanya wong cilik guna memuaskan hasrat lapar dengan harga terjangkau dan
sebagai sarana sosialisasi dan diskusi yang cukup hangat bagi masyarakat.
Angkringan di sini, menjadi salah satu tempat di mana public sphere terbentuk
dengan baik. Sambil menikmati hidangan khas sego kucing dan wedang jahe,
berbagai obrolan mulai dari politik, keamanan, ekonomi sampai isu-isu privat seseorang
seperti kasus tetangga yang bercerai sekalipun, menjadi bahan obrolan yang
mengalir di sini. Hal yang perlu digarisbawahi dalam konsep public sphere ala
Habermas ini ialah orang-orang yang terlibat di dalam public sphere tersebut,
seperti dalam komunitas angkringan, mereka memelihara suatu bentuk hubungan
sosial yang jauh dari persyaratan kesamaan status, semua boleh terlibat tanpa
membedakan status sosialnya.
Bertalian
dengan teori tindakan komunikatif milik Habermas juga, yang menyatakan bahwa harus
ada situasi ideal (ideal speech situation) yang memungkinkan manusia melakukan
komunikasi secara terbuka dan setara sebagai basis bagi terciptanya kesungguhan
(sincerity), kejujuran (truthfulness) dan interaksi yang intelektual
(intelligibility), maka di tempat yang bernama angkringanlah situasi ideal itu
terpenuhi. Di angkringan, komunikasi secara terbuka, setara dan cair dapat
tercipta dengan mudahnya. Dari komunikasi yang terbuka dan setara inilah, maka
muncul kejujuran antar pelaku komunikasi yang bersangkutan.
Merakyat juga
menjadi kata kunci bagi idealnya sebuah perpustakaan. Perpustakaan yang ideal
harus mampu berangkat dari kearifan lokal. Kearifan lokal berupa budaya
nongkrong di angkringan sejatinya menyiratkan budaya kebersamaan, keterbukaan
serta kesetaraan antar pengunjung. Dari sinilah angkringan berpotensi untuk
dibentuk menjadi angkringan buku, yang selain menyediakan hidangan khas,
obrolan khas, juga ditambah dengan buku-buku yang mampu menambah ilmu
pengetahuan bagi pengunjung angkringan dan memungkinkan diskusi yang lebih
sehat di komunitas angkringan tersebut.
Angkringan Buku: Sebuah Bentuk Metamorfosis Angkringan Reguler
C. Perpustakaan Yang Lebih Santai Dan Bersahabat Dimata Pengujung
Perpustakaan
yang ada selama ini masih menunjukkan bentuk formal yang kaku dan belum
familiar bagi sebagian orang awam atau golongan umum (selain pelajar,
mahasiswa, dan kalangan terdidik lainnya). Suasana perpustakaan yang ditunjang
dengan berbagai fasilitas yang lengkap, tidak serta merta membuat perpustakaan
layaknya mall yang ramai dikunjungi masyarakat. Perpustakaan masih cenderung
tergambar di benak masyarakat sebagai tempat yang belum sepenuhnya merakyat.
Suasana individualis masih jelas tercium aromanya di ruangan yang bernama
perpustakaan. Hanya kalangan intelektual saja, seperti pelajar, mahasiswa,
dosen, guru, pegawai atau peneliti saja yang karena tuntutan pekerjaan membuat
mereka berusaha berlama-lama membetahkan diri berada di ruangan perpustakaan.
Kalaupun ada pengunjung dari kalangan umum yang benar-benar hobi dan murni
membaca dan berniat sungguh-sungguh mengunjungi perpustakaaan guna mencari
ilmu, jumlahnya tentu dapat dihitung dengan jari.
Kebanyakan
masyarakat umum lebih memilih untuk bekerja atau nongkrong dan makan di tempat
yang bernama angkringan. Angkringan sendiri berasal dari kata angkring atau
nangkring yang artinya duduk santai . Angkringan merupakan sebuah warung
makanan dan minuman dengan harga yang sangat terjangkau dan berbentuk gerobak
yang ditutup dengan terpal atau tenda plastik. Angkringan dilengkapi dengan
kursi panjang yang mampu memuat lima sampai delapan orang pembeli. Terkadang
empunya warung angkringan menyediakan tikar bila ada pengunjung yang tidak
kebagian tempat duduk.
Angkringan bagi
sebagian besar rakyat kecil menjadi tempat favorit guna memuaskan hasrat perut
yang lapar sekaligus guna mengobrol santai. Suasana akrab dan lumer, terasa
khas di angkringan. Angkringan menjadi istimewa karena warga dan interaksi yang
terjadi di dalamnya. Angkringan adalah sebuah sistem paling sederhana yang
sebenarnya pantas menjadi model untuk hubungan sosial, meskipun tidak bisa
mencakup semua aspek. Egaliter atau sederajat adalah ciri khas utama warga
angkringan. Public sphere jelas bisa terbentuk dari komunitas angkringan ini.
Semua pembeli maupun empunya angkringan tidak akan memperdulikan siapa yang
datang ke angkringan. Apabila ada orang yang sudah datang ke angkringan, ia
harus siap berbaur tanpa memakai jabatan doktor, insinyur, pengacara, haji,
atau yang lainnya. Inilah yang membuat warga angkringan menjadi akrab. Belajar
mendengar orang lain sekaligus belajar menyampaikan pendapat pun menjadi
aktivitas biasa yang tak membosankan, ditemani hidangan khas angkringan tentunya.
Angkringan
adalah tempat orang umum atau wong-wong cilik berkeluh kesah dan ngobrol
keadaan negara. Diskusi seru biasanya berlangsung di tempat ini. Namun satu hal yang menjadi khas dari obrolan
mereka yaitu terbuka, apa adanya dan jujur dari hati nurani. Hal ini bertalian
dengan teori tindakan komunikasi, di mana harus ada situasi ideal (ideal speech
situation) yang memungkinkan manusia melakukan komunikasi secara terbuka dan
setara sebagai basis bagi terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness)
dan interaksi yang intelektual (intelligibility). Maka, di tempat yang bernama
angkringanlah situasi ideal itu terpenuhi. Di tempat yang bernama angkringan
inilah, selain public sphere yang tercipta, suasana ideal juga terasa. Hal ini
distimulus oleh komunitas warung angkringan yang tidak membeda-bedakan status
dan kedudukan. Karena itulah, tidak heran bila dari komunikasi yang terbuka dan
setara di angkringan, muncullah kejujuran antar pelaku komunikasi yang ada di
angkringan.
Pada tataran ini,
para pengunjung angkringan secara terbuka membicarakan isu-isu publik hingga
privat. Mereka biasa curhat atau menyampaikan keluh kesahnya sampai jam 3 pagi
sekalipun. Public sphere yang terbentuk di angkringan ini bersifat inklusif.
Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat yang
lebih luas dan obyek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja, dengan
demikian fungsi publik (dalam hal ini sekelompok orang yang berdiskusi di
angkringan) adalah pendidik. Pembicaraan mengenai banyak hal inilah yang
kemudian membuka jarak sosial dan terkesan lebih merakyat.
Di sinilah
letak public sphere yang terlihat kental dari warga masyarakat yang bergabung
di angkringan. Tak ada jarak antara satu pembeli dengan pembeli yang lain,
antara penjual angkringan dengan pembeli, semua berbaur menjadi satu. Suasana
akrab dan menyenangkan menyeruak begitu bergabung dengan komunitas yang satu
ini. Diskusi-diskusi yang hangat segera dimulai begitu pembeli memadati area
angkringan yang tidak begitu luas dan dihiasi lampu yang remang-remang. Aneka
diskusi mulai dari diskusi ringan hingga diskusi berat dilontarkan dan saling
ditimpali oleh pembeli ataupun penjual di angkringan tersebut.
Melihat hal
tersebut di atas, tentu ada peluang yang baik guna memasyarakatkan budaya
membaca sekaligus guna menciptakan perpustakaan ideal bagi komunitas pengunjung
angkringan. Angkringan buku dinilai mampu membuat suasana angkringan lebih
ramai dan hangat. Diskusi yang berlangsung pun bisa lebih sehat, karena pengunjung
bisa langsung membaca sumber dari buku sehingga tidak terjebak pada diskusi
kusir yang hanya menuruti ego masing-masing tanpa dasar yang jelas.
Hidangan berupa
sego kucing, wedang jahe, sate telur puyuh, tempe mendoan dan aneka sajian
lainnya akan lebih terasa lengkap bila, ditambahi dengan hidangan koleksi
buku-buku bermutu, surat kabar, majalah, buletin, atau pamflet. Hal ini penting
guna melengkapi pengetahuan pengunjung angkringan. Sehingga sajian di
angkringan tidak hanya melulu makanan dan minuman, namun juga ada sajian
pengetahuan bagi pengunjung angkringan. Bila kemudian para pengunjung setelah
membaca buku, surat kabar, majalah, buletin, atau pamflet yang memberitakan
tentang tindak korupsi misalnya, kemudian menindaklanjutinya dengan diskusi hangat
antar pengunjung, maka public sphere akan tercipta di komunitas angkringan
tersebut.
Lebih dari itu
diskusi yang terjadi tidak hanya diskusi kusir yang menuruti ego masing-masing
person, tapi tetap berdasar pada buku atau surat kabar yang lebih menitikberatkan
pada fakta. Akhirnya interaksi intelektual ala Habermas juga bisa dibuka dengan
wawasan yang luas melalui buku atau surat kabar yang disediakan di angkringan. Interaksi antar
pengunjung bisa lebih berbobot karena berdasar pada buku bacaan yang ada.
Suasana hangat, nyaman, egaliter, inklusif akhirnya juga menjadi daya tarik
tersendiri bagi angkringan. Bila kemudian potensi ini dimaksimalkan dengan
ditambah fasilitas penyedian buku, surat kabar, majalah, buletin, atau pamflet,
maka tentu angkringan tidak hanya menjadi tempat berkeluh kesah tentang kondisi
ekonomi atau kondisi negara.
Selain itu,
inspirasi maupun solusi dari permasalahan bangsa tersebut bisa lahir dari
komunitas agkringan ini, berkat aktifitas membaca buku dan diskusi yang terjadi.
Dari sini, terbentuklah model baru perpustakaan yang merakyat yang menjelma
dari sebuah angkringan reguler atau angkringan biasa menjadi angkringan yang
dilengkapi dengan buku-buku bacaan yang bermanfaat, surat kabar, majalah,
buletin, atau pamflet yang disebut dengan angkringan buku yang harapannya
menjadi model perpustakaan rakyat yang ideal. Ideal karena mampu meghadirkan
ruh perpustakaan, di mana suasana hangat, akrab, egaliter, dan inklusif serta
diskusi sehat bersumber bacaan yang sehat dapat tercipta di lingkungan
angkringan. Dalam hal ini diharapkan pemaksimalan peran angkringan dapat
tercipta.
D. Beberapa Cara Agar Perpustakaan Terlihat Lebih Menarik Dimata
User
1.
Menjadikan
perpustakaan sebagai tempat nyaman dan aman.
Perpustakaan yang nyaman tentunya membuat pemustaka betah
berlama-lama berada di perpustakaan. Nyaman tidak harus mahal dalam artian
tidak harus direnovasi menjadi tempat
yang mewah dengan arsitektur yang megah. Cukup dengan penataan yang rapi,
ruangan yang bersih, dan pencahayaan yang cukup. Selain itu disediakan ruang
baca yang memadai dan taman yang bisa
digunakan sebagai tenpat santai bagi pemustaka. Tidak hanya nyaman, keamanan
juga harus dijaga. Barang-barang yang telah ditipkan pengunjung harus dijaga
keamanya sehingga pemustaka saat berada di perpustakaan tidak merasa cemas akan
barang yang dititipkan kepada petugas.
2.
Selalu
memperbarui koleksi yang ada di perpustakaan.
Perpustakaan sebagai sumber informasi harus selalu memperbarui
koleksinya, agar tidak tertinggal dengan kemajuan pengetahuaan dan teknologi.
Sehingga koleksi yang ada di perpustakaan dapat memberikan informasi yang
akurat, tepat waktu dan bermanfaat bagi pemustaka.
3.
Pustakawan
yang baik.
Pustakawaan merupakan sarana sumber informasi yang ada di
perpustakaan, harus mampu memberikan pelayanan yang baik kepada pemustaka.
Pelayanan prima sanharus diterapkan oleh pustakawan karena untuk memberikan
kepuasan kepada pemustaka. Pustakawan harus mampu memberikan pelayanan yang
baik, senyum dan bersikap ramah, selai itu pustakawan harus mampu menyediakan
informasi yang diinginkan oleh pemustaka. Hal ini dilakukan agar pengunjung
pustakawan selalu meningkat dan menciptakan citra yang baik.
4.
Media
dan saran yang memadai.
Perpustakaan harus menyedian sarana lain dalam mencari sebuah
informasi, seperti akses internet dan OPAC. Hal ini dilakukan untuk membantu
pemustaka dalam mencari informasi kapan saja dan dimana saja tanpa terkendala
waktu dan tempat. Selain itu agar sumber-sumber informasi yang diperoleh
pemustaka dapat bertambah banyak dan berasal dari berbagai sumber.
E.
Peran Pustakawan Dalam Upaya Membuat Perpustakaan Yang Ideal
Seperti yang banyak kita ketahui sebelum-sebelumnyaperan pustakawan
ini sangatlah penting guna meningkatkan user dan juga menciptakan perpustakaan
yang nyaman. Hakikatnya pepustakaan yang nyaman dan idealitu haruslah mempunyai
pustakawan yang senantiasa berkerja dengan ikhlas dan bededikasi tinggi
terhadap perpustakaan dan juga mempunyai cara yang berkomunikasi yang baik
selain itu pustakawan juga harus menerapkan pemahaman 3Syang selalu kita
temuidi bank-bankdanpelayananumumlainnya. 3Syang dimaksud tersebut
yaitu:senyum, sapa,dan salam.
Selain
itu adapersyaratan pustakawan agar bisamembuat perpustakaan ini terasa lebih
nyaman yaitu sebagai berikut
:
1.
Aspek
Prfesional
Pustakawan Indonesia
berpendidikan formalilmu pengetahuan. Pustakawan juga di tuntut gemar
membaca,terampil,kreatif,cerdas,tanggap,berwawasan luas,berorientasi ke
depan,mampumenyerap ilmu lain,obyektif(berorientasi pada data), tetapimemerlukan
disiplin ilmu dipihaklain, berwawasan lingkungan,mentaati etika profesi
pustakawan, mempunyai motivasi tinggi berkarya dibidang pustakawanan dan mampu
melaksanakan penelitian serta penyuluhan
2.
Aspek
keperibadian dan Perilaku
Pustakawan
Indonesia harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral Pancasila,
mempunyai tanggung jawab sosialdankesetiakawanan,Memiliki Etos kerja yang
tinggi,mandiri,loyalitas tinggi terhadap profesi,luwes,komunikasi dan
bersikapsuka melayani, ramah dan simpatik, terbuka terhapdapkeritik dan saran,
selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu tekhnologi
berdisiplin tinggi dan menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia.
BAB III
Kesimpulan
Menghadirkan ruh perpustakaan yang hangat, nyaman, akrab, setara,
terbuka, merakyat, serta menimbulkan ruang public sphere yang dipenuhi diskusi
hangat penuh solusi, menjadi sebuah keniscayaan bagi terciptanya perpustakaan
yang ideal. Tidak hanya fasilitas yang dikejar, namun lebih kepada substansi
adanya perpustakaan yaitu menambah ilmu pengetahuan pembaca sekaligus
menghadirkan inspirasi solusi atas masalah yang ada. Angkringan buku sebagai
bentuk perpustakaan ideal model baru yang merakyat, akhirnya menjadi kebutuhan
kita bersama di tengah kondisi bangsa yang terpuruk akibat masalah yang tak
henti-hentinya melanda. Angkringan yang berpotensi menyedot perhatian wong
cilik dengan sajiannya yang khas, berpotensi untuk dimaksimalkan perannya
menjadi angkringan buku yang dilengkapi sajian buku-buku yang bermanfaat guna
menciptakan perpustakaan ideal yang murah meriah dan tanpa modal.
Dwijaty siti.2006 Upaya Meningkatkan Kualitas JasaLayanan
Informasi di perpustakaan. Surabaya Eirlangga
Daftar Pustaka:
Buku:
Benoit, G. 2002. Toward A Critical Theoretic Perspective In
Information Systems, dalam The Library Quarterly vol. 72 No. 4.
Boyd-Barret, Oliver.1995. Conceptualizing the Public Sphere,
in Oliver Boyd Barret and Chris Newbold, Approach to Media A Reader, New York :
Arnold.
Habermas, Jurgen.1993. The Structural Transformation of The
Public Sphere An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by
Thomas Burger. Cambridge Massachusetts : MIT Press.
Morrow, R.A. dan Brown, D.D. 1994. Critical Theory and
Methodology Thousand. Oaks : Sage Publications.
Purwantoro,A. Pembaruan Linguistik Jurgen Habermas dalam
Tradisi Teori Kritis, dalam Majalah Filsafat Driyakarya, th.XXIII No. 1.
Supriyanto.2006. Aksentuasi Perpustakaan Dan Pustakawan.
Editor: Kosam Rimbarawa dan Supriyanto. Jakarta: Ikatan Pustakawan Indonesia
Pengurus Daerah DKI Jakarta.
Trosow, S.E. 2001.Standpoint epistemology as an alternative
methodology for library and information science dalam Library Quarterly, vol.
71 no. 3.
Situs:
Budiman, Hikmat. 13 Maret 2004. Kampanye Massal,
Ketidakhadiran (Ruang) Publik. Terarsin dalam
http://m.infoanda.com/linksfollow.php?li=www.korantempo.com/news/2004/3/13/Opini/52.html.
Diunduh pada tanggal 7 Desember 2008 pukul 17.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar